Sunrise, Lautan Pasir, dan Kawah Gunung Bromo

Menanti sunrise di Bromo

Dini hari, saya tiba di Desa Cemorolawang, desa terakhir sebelum menuju ke Gunung Bromo. Suasana sekitar masih gelap, dan hanya dibantu oleh beberapa penerangan lampu dan bantuan senter. Jika tidak, suasana pasti gelap gulita. Pukul 03.00 dini hari kira kira saya sampai. Jam segitu, orang orang kota masih terlelap. Tapi di desa ini,  penduduk desa malah berkeliaran. Setiap bus atau kendaraan yang baru parkir pasti dikerumuni.  
Saat tiba saja, bus yang saya tumpangi dikerumungi penduduk desa dengan menenteng ragam asksesoris seperti syal yang dirajut, topi, sapu tangan dan bahkan jaket. Layaknya pasar dimana terjadi proses jual beli dan saling tawar menawar. Dengan lincah penduduk desa menawarkan jualannya.

“Kaos tangan,syal, lima ribu pak, lima belas ribu pak,” teriak kerumunan itu. Banyaknya pelancong yang datang ke bromo membawa rejeki tersendiri bagi penduduk lokal. Mereka menjual aneka macam. Ada syal, kaos tangan,  dan penutup kepala dengan motif tulisan bromo. Selain itu, ada juga yang menyewakan jaket. Harganya beragam mulai dari lima ribu untuk kaos tangan, lima belas ribu untuk syal dan kupluk serta 20 ribu untuk sewa jaket. Tapi, saya tidak membeli apa apa karena semua perlengkapan itu sudah saya siapkan sebelum berangkat.

Saat turun dari bus, udara dingin mulai merangsek masuk ke dalam tubuh. Nampaknya suhu berada dibawah nol derajat. Meski telah mengenakan jaket tebal lengkap dengan kaos tangan dan penutup kepala, tapi udara dinginnya masih terasa. Tapi berkat udara dingin ini, sensasi wisata bromo jadi terasa.

Di sisi lain desa, Nampak ratusan jeep hardtop berjejeran. Mobil jeep ini lah yang digunakan untuk sampai ke bromo. Sewa satu jeep sekitar 500 ribu hingga 750 ribu rupiah. Dan kapasitasnya sekitar enam orang. Menurut salah satu sopir jeep yang saya temui, total seluruh jeep mencapai 500 mobil. Jumlah ini diluar dugaan saya.
Tak berapa lama, satu per satu pelancong mulai menaiki jeep yang mereka sewa termasuk saya. Setelah penuh, mobil jeep mulai melaju dan menembus gelap dan dinginnya subuh hari. Tak ada yang menyalip karena jalanan sempit dan sisinya jurang. Jadi sepanjang jalan menuju bromo hanya dilalui jeep. jika dilihat dari atas maka akan tampak seperti gerbong gereta yang saling kait mengait.

Mobil Jeep di Penanjakan
Tak berapa lama, jeep mulai berhenti. Suasana masih gelap. Dilangit, bintang masih berkerlap kerlip. Di pemberhentian ini disebut penanjakan. Dari sini pelancong mulai berjalan melewati jalan setapak menuju bukit. Penerangan yang digunakan hanya senter. Setiap pelancong hati hati berjalan. Soalnya, salah sedikit bisa jatuh terperosok ke jurang.

Saat tiba di atas, rupanya sudah banyak orang dengan macam gaya dan aktifitas. Ada yang sibuk mengambil gambar dan video. Ada yang hanya duduk. Ada juga yang mulai menyetel kamera dengan tripodnya. Dan kami yang baru datang mulai mencari posisi yang nyaman sambil sesekali mengambil gambar. Suasana masih gelap dengan senter sebagai penerang. Udara rasanya semakin dingin. Tangan saya mulai kaku. Seolah-olah membeku. Beberapa kali saya saling menggosokkan kedua telapak tangan sambil sesekali meniupnya agar tidak terlalu kedinginan.  

Setelah beberapa jam, langit mulai terlihat memerah. Gelapnya malam berangsur menghilang. Puncak Gunung Bromo mulai terlihat diselimuti kabut putih tebal. Orang orang mulai mengabadikan momen dengan latar belakang matahari terbit Bromo. Mereka tak berhenti memotret seolah-olah setiap detik momen itu sangat berharga.

Pelancong mengabadikan momen sesaat setelah sunrise di Bromo

Pemandangan seperti ini memang sangat jarang dijumpai. Layaknya menikmati sebuah maha karya dari kekuasaan yang esa. Langit dengan corak kemerah merahan, Gunung Bromo yang menjulang diselimuti kabut putih tebal dengan pantulan sinar matahari pagi nan elok. Ditambah udara pagi yang menyegarkan. Sontak rasa dingin mulai dilupakan terganti dengan rasa senang menyaksikan mahakarya yang luar biasa.

Lautan Pasir, Padang Savana

Lautan pasir Bromo yang luasnya mencapai 2000 hektar

Puas disuguhi pemandangan pagi yang elok, perjalanan dilanjutkan menuju padang savanna. Tapi sebelum itu, saya menikmati suguhan pisang goreng dan mie instan di bawah bukit penanjakan untuk mengganjal perut dan menghangatkan badan. Dengan duduk disini, saya baru bisa melihat dengan jelas ragam pelancong dari berbagai negara. Ada dari India, China dan beberapa Negara Negara Eropa.

Tak  lama, semua pelancong melanjutkan perjalanan menuruni bukit. Tujuan selanjutnya adalah lautan pasir sisa peninggalan letusan Gunung Bromo. Luasnya sampai sekira dua ribu hektar. Di sini  saya merasakan sensasi off road mobil jeep. Dimana mobil jeep melaju dengan kecepatan tinggi, menembus kabut tebal yang membatasi jarak pandang hanya sampai satu hingga dua meter. Meski jarak pandang terbatas, tapi mobil jeep tetap melaju dengan kecepatan tinggi dan sopir jeep tahu kemana harus mengarahkan mobilnya. Setiap undakan pasir membuat mobil melompat dan kemudian kembali melaju dengan cepat.

Bagaikan balapan, mobil-mobil jeep yang lain pun melaju dengan cepat layaknya mengincar posisi pertama. Saya yang duduk di kursi belakang merasakan keseruan tersendiri dan rasanya ingin mengambil alih kemudi dan mulai balapan dengan jeep lainnya. Hehehe…

Di bukit savanna, mobil mobil jeep mulai parkir dan para pelancong kembali mengabadikan momen. Disini ratusan mobil mobil jeep yang terparkir merupakan momen tersendiri menurutku. Jarang bisa melihat hal itu apalagi lokasinya di padang pasir.

Kawah Gunung Bromo
Kawah Bromo

Setelah puas balap-balapan, petualangan selanjutnya yakni perjalanan menuju kawah Gunung Bromo yang masih aktif hingga sekarang. Sebenarnya untuk mencapai kawah bisa menunggang kuda dengan membayar sekitar lima puluh ribu rupiah. Perjalanan akan lebih cepat. Namun, saya lebih memilih jalan kaki di atas lautan pasir. Alhasil, waktu yang dibutuhkan cukup lama ditambah ngos ngosan, dan sempat merasakan debu pasir yang tertiup anging. Ditambah lagi, untuk sampai di bibir kawah, harus menaiki 250 anak tangga yang agak miring. Jadi betul betul menghabiskan energi ekstra.

Tapi saya merasakan keseruan tersendiri, bagai sang musafir yang melakukan perjalanan di padang pasir menggunakan masker menembus badai pasir. Dalam perjalanan sesekali merindukan oase dan pohon yang rindang untuk berteduh.

Sampai puncak, saya merasa perjalanan yang begitu jauh awalnya, rupanya bisa juga ditempuh dengan berjalan kaki dan akhirnya berhasil juga. Dari puncak, melihat ke tempat awal jalan kaki, sungguh terlihat tempat yang sangat jauh dan jika dipikirkan, perjalanan itu melelahkan. Tapi setelah dijalani, ternyata perjalanan itu seru juga. Meski memang capek. Hehehe.

Pemandangan dari bawah melihat ke puncak memang selalu dibayangi dengan ketakutan apakah bisa sampai disana. Tapi setelah dipuncak kita akan bersyukur untuk setiap langkah yang ditempuh. Dan akan selalu bersyukur dengan setiap proses yang dilewati.

Akhirnya, perjalanan bromo menyimpan keindahan mahakarya yang luar biasa. Dan ini merupakan salah satu perjalanan yang seru sekaligus menyenangkan.

 Dokumentasi perjalanan menuju Kawah Gunung Bromo:














Komentar

  1. saya sudah pernah ke kawah ijen dan bromo. pemandangan yang sangat luar biasa indahnya

    BalasHapus

Posting Komentar

silahkan tulis komentar anda di sini